Laman

Kamis, 05 Agustus 2010

segera bartaubat

Tobat

Tobat merupakan awal perjalanan para penempuh dan merupakan kunci kebahagiaan para
pengharap hadirat Allah. Allah swt. berfirman, “Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang
yang tobat dan
menyukai orang-orang yang menyucikan diri.” (Q.s. Al-Baqarah: 222).
Firman-Nya pula: “Dan bertobatlah kamu sekalian kepada Allah ....“ (Q.s. An-nur: 31).
Rasulullah saw. bersabda, “Orang yang bertobat adalah kekasih Allah, dan orang yang bertobat
dan dosanya seperti orang yang tidak pernah berdosa.”
Rasulullah saw. juga bersabda: “Kegembiraan Allah terhadap tobat seorang harnba-Nya yang
Mukmin melebihi kegembiraan orang yang singgah di sebuah padang sahara yang tandus dan
membahayakan. Ia membawa kendaraan, untuk membawa makanan dan minumannya
(bekalnya). Kemudian dia merebahkan diri dan tidur sejenak. Ketika terbangun, ternyata ia tidak
mendapatkan kendaraan tunggangannya lantaran terlepas dan melarikan diri. Lalu ia berupaya
mencarinya ke berbagai penjuru, hingga merasakan amat lapar dan haus ... atau apa saja yang
dikehendaki Allah menimpa atas dirinya. Kemudian ia berkata, ‘Aku akan kembali ke tempat di
mana aku tidur tadi, dan akan tidur kembali hingga mati di situ.’ Sesampainya di tempat itu, ia
pun meletakkan kepalanya di atas lengannya, lalu tidur untuk mati. Tiba-tiba ia pun terbangun,
dan ternyata tunggangannya yang semula hilang itu ada di sisinya lagi, berikut bekal dan
minumannya masih ada. Allah itu jauh lebih gembira dari orang yang telah mendapatkan
kembali tunggangannya dan bekalnya itu.” (Al-Hadis).
Esensi Tobat
Esensi tobat adalah kembali dari jalan yang jauh menuju jalan yang dekat. Namun demikian,
tobat itu memiliki pilar, prinsip dasar dan kesempurnaan. Prinsip dasar adalah iman. Yang
berarti, terpancarnya cahaya ma’rifat pada kalbu sehingga dosa-dosa yang ada di dalamnya
merupakan racun yang membinasakan. Dari sana bara rasa takut (khauj) dan penyesalan
(nadam), kemudian dari bara inilah memancar sikap waspada dan sikap memperbaiki

kekeliruan. Untuk saat itu, berupaya meninggalkan dosa-dosa. Untuk kelak, berarti kemauan
yang sungguh-sungguh guna meninggalkan dosa-dosa; dan pada masa silam, berarti
memperbaiki kekeliruan semaksimal mungkin. Dengan demikian, kesempurnaan tobat dapat
digapai.
Jika esensi tobat telah Anda ketahui, maka sangat jelas bahwa tobat itu merupakan kewajiban
setiap individu yang wajib dilakukan dalam kondisi apa pun. Karena itulah Allah swt. berfirman,
“Dan bertobatlah kamu sekalian kepada Allah ....“ (Q.s. An-Nur: 31).
Di sini Allah mengarahkan khitab-Nya kepada semua pihak secara menyeluruh. Tobat itu wajib
karena muatan maknanya adalah mengetahui bahwa dosa-dosa bisa menghancurkan, serta
darinya motivasi yang kuat untuk meninggalkannya. Ini merupakan salah satu komponen
keimanan, yakni mengenal
faktor-faktor di atas.
Bagaimana tobat tidak wajib? Karena manusia itu terdiri dari beberapa sifat: kebinatangan,
kebuasan, kesetanan, dan sifat-sifat ketuhanan. Dan unsur-unsur kebinatangan lahir sifat
rakus, nafsu birahi dan durhaka. Dari unsur kebuasan lahir sifat-sifat marah, dengki,
permusuhan dan rasa benci. Dari unsur kesetanan lahir sifat-sifat tipu daya dan pengkhianatan.
Dari unsur ketuhanan lahir sifat sombong, senang dipuja dan cinta kekuasaan.
Prinsip akhlak tersebut adalah keempat perilaku di atas. Sifat-sifat itu telah mendarah daging
dalam diri manusia dan sulit untuk dipisahkan. Yang dapat dilakukan hanyalah upaya
menyelamatkan diri dari kegelapannya dengan cahaya yang dapat diperoleh dari akal pikiran
dan syariat.
Pertama kali unsur yang diciptakan dalam sifat manusia adalah unsur kebinatangan, karena itu
pada masa bayi sifat rakus, tamak dan birahi menguasainya. Lalu unsur kebuasan, yang
menguasainya melalui sifat bermusuhan dan saling berkompetisi menguasainya. Kemudian
diciptakan unsur setaniah yang menguasai dirinya dengan sifat tipu daya dan rekayasa. Unsur
kebuasan dan kebinatangan ini menggiring manusia untuk mempergunakan kecerdikannya
dalam menyiasati terlaksananya hawa nafsu dan terwujudnya sifat amarah.
Setelah unsur-unsur tersebut, lahirnya unsur ketuhanan (rububiyah) yang menimbulkan sifat
sombong, cinta martabat dan tahta. Kemudian diciptakan akal pikiran, yang mencerahkan
cahaya dan cahaya itu adalah pasukan Allah dan pasukan malaikat. Sementara sifat-sifat
negatif di atas adalah balatentara setan.

Pasukan akal menjadi sempurna ketika usia seseorang mencapai empat puluh tahun, dan
awalnya tampak pada usia baligh. Sedangkan seluruh balatentara setan telah bercokol di
dalam hati sebelum berusia baligh. Hati dikuasai oleh balatentara tersebut dan dijinakkan oleh
nafsu, selanjutnya ia menyebar luas dalam nafsu birahi (syahwat) menuruti gerak nafsu, sampai
cahaya akal pikiran itu masuk. Maka terjadilah perang antara nafsu dan akal pikiran dalam
konflik hati.
Apabila pasukan akal dan cahaya iman tidak mampu mengalahkan balatentara setan, maka
balatentara setan tersebut tetap bercokol sebagaimana semula, berarti kerajaan hati telah
menyerah kepada setan. Perang antara hawa nafsu dan akal pikiran merupakan kelaziman
dalam fitrah manusia, sebab naluri seorang anak itu tidak akan meluas jika naluri sang bapak
tidak meluas pula. Kisah Adam as. itu dituturkan, agar menjadi pelajaran dan perhatian, bahwa
hal itu telah menjadi kepastian atas dirinya. Tentu juga menjadi kepastian atas seluruh anak
cucunya dalam ketetapan azali yang tidak dapat diubah lagi. Jadi, tidak seorang pun yang tidak
membutuhkan tobat.
Bahwa tobat itu wajib dilakukan setiap saat, karena tingkah laku manusia, tidak lepas dari dosa,
baik organ tubuhnya atau pada kalbunya. Ia juga tidak lepas dari moral dan perilaku tercela,
suatu hal yang harus dijauhi dan dibersihkan dari hati. Perilaku tercela itu menjauhkan diri dari
Allah dan upaya untuk menyingkirkan merupakan tobat itu sendiri, karena hal tersebut
merupakan tindakan meninggalkan jalan yang jauh (al-bu’du) kembali menuju jalan yang dekat
(al-qurb) kepada-Nya.
Jika lepas dari semua itu, ia tidak bisa sunyi dari kealpaan mengingat-Nya. Kealpaan juga
termasuk jalan yang menjauhkan diri (dari Nya), ia harus kembali melalui dzikir. Itulah
sebabnya, Allah berfirman:
“Dan ingatlah kepada Tuhan mu jika kamu lupa....” (Q.s. Al-Kahfi: 24).
Jika hatinya hadir selamanya, ingat kepada Allah swt, lalu bagaimana? Dalam hal ini ia tidak
bisa lepas dari pendakian tahapan (maqam) rendah menuju tahap yang tinggi. Ia harus
meningkat ke maqam selanjutnya. Walaupun ia telah melalui maqam tersebut, ia harus tetap
terus mendaki dari maqam-maqam yang lebih tinggi lagi. Ketika ia mendaki tahap yang lebih
tinggi, ia harus mohon ampun atas tahap lalu yang rendah. Sebab ia merasa telah berdosa atas
masa lalunya, ketika ia dapati tahap yang lebih luhur. Padahal tahap-tahap itu tidak pernah ada
batasnya.

Hal inilah yang disabdakan oleh Rasulullah saw.:
“Sebenarnya hal itu adalah yang menyelubungi hatiku, hingga aku minta ampun kepada Allah
dalam sehari-semalam tujuhpuluh kali.” (Al-Hadis).
Semuanya merupakan tobat. Hanya saja tobat orang awam itu dari dosa-dosa lahiriah.
Sedangkan tobat orang-orang saleh adalah tobat dari perilaku-perilaku batin yang tercela; tobat
orang-orang takwa adalah tobat dari posisi-posisi keragu-raguan; tobat orang-orang yang cinta
kepada Allah swt. (muhibbin) adalah tobat dari kelalaian dzikir; dan tobat orang-orang arif
(al-arijiin) adalah tobat dari berhenti pada suatu maqam, padahal di depannya masih terdapat
maqam-maqam lagi. Maqam-maqam kedekatan kepada Allah tidaklah berujung, maka tobat
seorang arif tidak juga berujung pangkal, tidak berbatas akhir.
Tobat yang telah terpenuhi syarat-syaratnya pasti diterima. Anda tidak perlu khawatir, jika Anda
mengerti tentang makna penerimaan tobat. Makna penerimaan tobat adalah kesiapan hati
untuk menerima
cahaya-cahaya ma’rifat dalam dirinya. Hati Anda bagaikan cermin yang pencerahannya
terhalangi oleh kotoran-kotoran hawa nafsu dan cinta nafsu. Setiap dosa merupakan bintik
hitam kalbu, sedangkan setiap kebaikan adalah bintik cahaya pada kalbu. Karena itulah,
kebaikan-kebaikan dapat membersihkan dan mencerahkan jiwa. Itulah sebabnya Nabi
Muhammad saw. bersabda, “Kejelekan itu harus diikuti dengan kebaikan agar kebaikan itu
dapat menghapusnya.”
Tobat bagi hati bagaikan sabun bagi pakaian. Sabun itu pasti dapat menghilangkan kotoran jika
digunakan sebagaimana mestinya. Orang yang meragukan diterima-tidaknya tobatnya, berarti
belum yakin atau belum memenuhi syarat-syarat tobat secara utuh. Hal itu sama dengan orang
yang meminum obat sakit perut, tapi dia tidak yakin hal itu akan menyembuhkan sakitnya,
karena dia tidak tahu tentang syaratsyarat penggunaan obat itu secara utuh. Sebaliknya bila ia
mengetahui hal itu, pastilah tergambar kesembuhan, pasti menerima syarat orang yang
menolong. Namun pada saat-saat tertentu keragu-raguan ini tidaklah menghantui kita, bahwa
tobat itu sendiri harus melalui jalan-jalan tertentu untuk dapat diterima.
Terapi Tobat
Terapi tobat adalah penghentian pengulang-ulangan perbuatan dosa yang dilakukan secara
terus-menerus. Sebab tidak ada penghilang tobat selain perbuatan dosa yang diulang kembali.
Tidak ada penyebab tobat selain sifat lalai dan nafsu.

Suatu penyakit yang terdapat dalam hati dan terapi pengobatannya seperti pengobatan tubuh.
Namun penyakit hati ini iebih besar dari penyakit tubuh, karena tiga faktor:
Pertama, itu adalah sejenis penyakit yang pengidapnya sendiri tidak tahu bahwa itu adalah
penyakit. Itu sama dengan belang pada wajah orang. Disebabkan tidak mempunyai cermin, dia
tidak akan berupaya menghilangkannya, lantaran tidak tahu bahwa di wajahnya ada belang.
Kemudian jika ada orang lain yang memberitahukannya, mungkin dia tidak akan percaya.
Kedua, akibat dari penyakit ini tidak dapat disaksikan oleh manusia walaupun ia mengalaminya.
Karena itu Anda memandangnya semata bergantung pada ampunan Allah, sedangkan Anda
hanya gigih dalam mengobati penyakit tubuh.
Ketiga, itu adalah penyakit kronis yang sulit diobati dan sudah kehilangan dokter. Sementara
dokter yang sebenarnya adalah seorang alim yang mau mengamalkan ilmunya.
Ulama-ulama masa kini telah mengidap penyakit yang sulit mereka sembuhkan sendiri, karena
penyakit yang membinasakan itu adalah cinta dunia (hubbud-dunya). Penyakit ini telah
menguasai para ulama. Padahal mereka sangat berkepentingan untuk mencegah manusia dan
cinta dunia, agar kebobrokannya tidak terungkap. Lalu mereka menjadi hina setelah menyetujui
orientasi harta-benda, rakus dan cinta gelimang harta. Karena faktor inilah penyakit itu semakin
menyebar luas dan obat pun punah, para dokter sibuk dengan upaya yang menyesatkan.
Maka, barangkali jika mereka tidak melakukan terapi, kerusakan tidak merajalela. Kemungkinan
mereka itu diam dan tidak berbicara, bahkan setiap orang dari mereka bagaikan batu besar di
mulut sebuah lembah. Batu itu tidak menyerap air itu, juga tidak menyisakan air untuk diserap
oleh benda lain.
Terapi terhadap faktor pengulang-ulangan perbuatan dosa, tertumpu pada lima hal:
Pertama, bahwa siksa atau sanksi yang diancamkan itu, tidak seketika. Naluri manusia
meremehkan sesuatu yang tidak nyata terjadi. Terapinya, Anda hendaknya berpikir, bahwa
setiap yang akan datang pasti dekat dengan kita, dan bahwa yang jauh itu tidak akan tiba. Anda
merenungkan, bahwa mati itu lebih dekat dari tali sandal. Tidak ada yang tahu apakah maut itu
menjemput pada akhir hari ini atau pada akhir tahun. Kemudian berpikir, bagaimana dia
bersusah-payah menempuh perjalanan jauh melewati aneka ragam bahaya, hanya khawatir
pada kemiskinan di masa depan.
Kedua, kesenangan dan hawa nafsu bisa mencekik leher seketika itu pula, sementara ia tidak
mampu melepaskan cengkeramannya. Terapinya adalah, dia harus berpikir, andaikata seorang
dokter Nasrani menyatakan bahwa meminum air yang dingin sangat berbahaya baginya dan

dapat menggiringnya pada maut, padahal air itu adalah yang paling lezat baginya, bagaimana
ia akan meninggalkannya? Maka, hendaklah ia tahu bahwa Allah swt. dan Rasulullah saw. lebih
benar daripada dokter Nasrani tersebut, sedang kekal dalam api neraka lebih pedih daripada
mati karena sakit. Kemudian, jika ia menyatakan kepada diri sendiri, betapa sulitnya
meninggalkan kesenangan-kesenangan itu, bagaimana tidak sulit dan menyengsarakan dirinya
bila berdiam dalam api neraka, dan terlarang dari Firdaus berikut segala bentuk kesenangan
selama-lamanya?
Ketiga, jika ia selalu menunda-nunda tobat dari hari ke hari, terapinya adalah berpikir dan tahu
bahwa bisikan kebahagiaan dan kesengsaraan itu bukan kembali padanya, merupakan suatu
kebodohan. Dari mana ia tahu bahwa hal itu dapat abadi sampai ia bertobat? Sebagian besar
jeritan penghuni neraka disebabkan oleh penundaan-penundaan tobat tersebut. Sebab, mereka
selalu menunda-nunda dan mengulur-ulur tobat hingga secara tiba-tiba diserang penyakit yang
menggiringnya pada maut. Penunda-nundaan itu dilakukannya karena ia tidak mampu
mengekang hawa nafsu seketika itu.
Sebab, bila menunggu-nunggu saat senggang, atau hari yang luang tiada kesibukan untuk
pengekangan terhadap hawa nafsu, hakikatnya saat senggang dari hari yang luang tanpa
kesibukan itu tidak pernah ada. Itu sama saja dengan orang yang tidak mampu mencabut
sebuah pohon yang mengakar, lalu menundanya sampai tahun depan, padahal dia tahu bahwa
dari hari ke hari pohon tersebut semakin mengakar kuat, kemudian kemampuan dirinya dari hari
ke hari semakin berkurang. Ia benar-benar tolol.
Keempat, menganggap dirinya mulia dan dimaafkan. Ini benar-benar puncak kesombongan,
yang dimasukkan oleh setan agar menentang agama. Rasulullah saw. bersabda, “Orang yang
cerdik adalah orang yang menundukkan dirinya, dan beramal untuk kehidupan setelah mati.
Orang yang tolol adalah orang yang mengikutkan nafsu-nafsunya dan mengandai-andai kepada
Allah swt.”
Kelima, meragukan urusan atau perkara akhirat — Na’udzubillah. Terapinya telah kami sinyalir
pada Penutup Bab “Akhlak yang Tercela: Meremehkan Dosa Kecil”. Bertobat dari dosa-dosa,
apa pun bentuknya, adalah penting dan merupakan kewajiban, apalagi dosa-dosa besar.
Berulang-ulang melakukan dosa kecil merupakan dosa besar pula. Tidak ada dosa kecil jika
terus-menerus dilakukan, sebaliknya, tidak ada dosa besar bila kembali dan istighfar.
Dosa-dosa kecil yang berulang-ulang sangat besar pengaruhnya dalam menggelapkan hati, itu

identik dengan air yang terus menetes pada batu yang keras. Air itu, lama-lama pasti dapat
melubangi batu tersebut, padahal air itu cair, sedangkan batu itu keras.
Beberapa faktor yang menyebabkan dosa kecil menjadi besar:
Pertama, sikap meremehkan dosa kecil, sehingga ia tidak pernah memperhatikan sebab-sebab
dosa tersebut. Di antara sufi berkata, “Dosa yang tidak terampuni adalah ucapan seorang
hamba, Andaikata segala sesuatu aku kerjakan seperti ini.”
Kedua, rasa bangga dan girang dengan dosa-dosa, bahkan menikmatinya. Si pendosa itu
berkata dengan bangganya, “Bagaimana Anda menyaksikan aku mencercanya,
mengoyak-koyak kehormatannya dan memperdayanya dalam kerja sama?” Ini benar-benar
berpengaruh besar dalam penodaan hati.
Ketiga, meremehkan Allah yang menutupi cacat dirinya. Ia mengira, bahwa itu karena
keluhurannya di sisi Allah, sementara ia tidak tahu bahwa hal itu dimurkai. Dia selalu melakukan
penunda-nundaan tobat sehingga dosa-dosanya semakin bertambah, karenanya kelak ia ada di
dasar api neraka terbawah.
Keempat, mendemonstrasikan dosa-dosanya, setelah melakukannya. Dalam sebuah hadis
disinyalir, “Seluruh manusia terampuni, kecuali mereka yang suka mendemonstrasikan
dosa-dosanya.”
Kelima, dosa kecil yang bersumber dari ulama yang menjadi panutan. Ini adalah dosa besar,
sebab dosa kecil itu tetap berlangsung setelah ulama itu meninggal dunia. Berbahagialah orang
yang meninggal dan bersamanya pula berakhir dosa-dosanya. Orang yang meninggalkan
tradisi yang jelek, maka beban dosanya dan dosa yang mengikuti tradisi itu ada padanya
sampai hari Kiamat.
Dituturkan bahwa di antara ulama Israil bertobat dari dosa-dosanya dan bid’ah yang
dilakukannya. Kemudian Allah menurunkan wahyu kepada seorang Nabi pada masa itu
berkenaan dengan tobat si ulama tadi. Wahyu itu adalah, “Dosa-dosamu, antara Aku dan kamu,
tetap Aku ampuni, namun bagaimana dengan hamba-hamba-Ku yang kamu sesatkan yang
dengannya kamu memasukkan mereka ke dalam api neraka?”
Jadi, motivasi yang mendorong pelaksanaan tobat itu tidak lain hanyalah rasa takut yang
bersumber dari matahati (bashirah) dan ma’rifat.
Sumber: Sufi.com

Hidangan Ikhlas

Mau menghidangkan menu utama Keikhlasan? Wah, resepnya mudah, tapi menyiapkannnya,
memasaknya, apalagi memakannya, serasa agak berat. Tapi usai meminum dan makan sajian
menu Keikhlasan ini, seluruh tubuh dan jiwa serasa segar dan sehatnya bukan main.
Awalnya seperti merasa akan minum jamu yang pahit, tapi begitu sampai di tenggorokan, lapar
dan dahaga ruhani semakin memuncak.
Untuk menyiapkan menu ini, perlu dua persiapan:
Persiapan pertama, membuang hal-hal yang mebuat sajian keikhlasan ini rusak dan tidak bisa
disajikan sama sekali. Hal-hal yang perlu dibuang, antara lain:
- Buanglah bumbu-bumbu yang merangsang otak dan hati kita mengingat-ingat amal baik dan
ibadah kita.
- Buanglah kulit-kulit bumbu yang memicu kita untuk minta ganti rugi kepada Allah Ta’ala.
- Buanglah rasa puas terhadap amal ibadah kita.
Untuk memulai meracik bumbunya:
- Menghadapkan ke depan, lihatlah siapa di hadapanmu….Allah Ta’ala.
- Lihatlah dirimu darimana, kemana, dengan siapa, bersama siapa, beserta siapa, dalam apa,
bagi siapa, dan bersandar pada siapa?
- Mulailah menyiapkan menunya dengan pilihan-pilihan dariNya….
- Sajikan nantinya di atas meja hamparan KeindahanNya…
- Siapkan kursi-kursi tawakkal, kursi Tafwidh dan kursi Istislam kepadaNya…
Wallahu A’lam, apakah yang akan memakannya, menikmati menunya, nanti kalangan
Mukhlisihin, atau kalangan Mukhlashin. Wallahu A’lam. Yang jelas, Ikhlas itu biji rahasiaNya
yang ditanamkan dalam rahasia batin hambaNya, yang dicintaiNya.

Sumber: Sufi.com